Link, Jakarta – Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati mengingatkan perubahan iklim global bukanlah kabar bohong (hoaks) atau sekadar prediksi masa depan, melainkan realitas yang sudah dihadapi oleh miliaran penduduk bumi saat ini. Fenomena ini tidak bisa dianggap sepele, mengingat dampaknya semakin mengkhawatirkan.
“Fenomena perubahan iklim semakin mengkhawatirkan serta memicu dampak yang lebih luas. Hal itu terlihat dari berbagai peristiwa alam terkait iklim, seperti suhu udara yang lebih panas, terganggunya siklus hidrologi, hingga maraknya bencana hidrometeorologi di berbagai belahan dunia. Maka dari itu, seluruh generasi harus saling berkolaborasi untuk menahan laju perubahan iklim,” katanya.
BMKG memproyeksikan bahwa suhu udara di Indonesia bisa meningkat hingga 3,5 derajat Celsius dibandingkan zaman pra-industri pada 2100 jika aksi mitigasi iklim gagal dilakukan. Sementara itu, Badan Meteorologi Dunia (WMO) juga memperingatkan bahwa pada 2050, dunia bisa menghadapi skenario terburuk berupa bencana hidrometeorologi dan kelangkaan air yang berpotensi memicu krisis pangan.
“Jika melihat tahun tersebut, maka dapat dipastikan bahwa Generasi Z dan Alpha lah yang akan paling merasakan dampak ini,” imbuhnya.
Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, menambahkan bahwa perubahan iklim akan terus terjadi dalam beberapa dekade mendatang jika tidak ada aksi mitigasi yang dilakukan. Oleh karena itu, diperlukan respon global untuk melakukan aksi mitigasi dan adaptasi. Ia juga menyoroti bahwa dalam World Economic Forum 2023, kegagalan mitigasi dan adaptasi iklim disebut sebagai risiko global terbesar.
“Tantangan saat ini adalah bagaimana meningkatkan pemahaman iklim dan perubahan iklim di kalangan publik, terutama generasi muda, generasi milenial, gen-Z, yang mereka adalah generasi yang akan paling terpapar dampak perubahan iklim dalam satu atau dua dekade mendatang, sekaligus yang paling bertanggung jawab untuk melakukan segala tindakan dan upaya untuk menanggulanginya,” jelas Ardhasena.
Ia menekankan pentingnya tidak hanya meningkatkan pemahaman, tetapi juga mendorong aksi-aksi nyata dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Menurutnya, tindakan yang masif dan terukur diperlukan untuk membatasi peningkatan suhu rata-rata global di bawah 1,5°C dari tingkat pra-industri.
“Oleh karenanya, diperlukan kesadaran dan tindakan yang masif dalam berbagai tingkatan yang disertai dengan aksi iklim yang nyata dan terukur dalam membatasi peningkatan suhu rata-rata global di bawah 1,5°C dari tingkat pra industri, dan harus ada aksi nyata di lapangan yang mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDG), terutama pada SDG ke-13, climate action,” pungkasnya. (spy)