spot_img

Indera, Refleks Membawa Kita Ke Keindahan

Bismillahirrahmannirahim

Manusia dianugerahi dengan indera. Diantaranya mata untuk melihat, hidung untuk mencium dan telinga untuk mendengar keindahan.

SAPARIYANSYAH, BUDAYAWAN SPIRITUAL

Mencari yang Hilang, Memelihara yang Terlupakan

Baru saja Ummat Islam di Negeri Serambi Makkah selesai melaksanakan ibadah Nisfu Sa’ban yang selalu dirindukan. Dalam kurun waktu relative sempit—jelang waktu Magrib – Isya—indera kita mendapat suguhan nikmat keindahan. Hanyak nikmat yang ada dan terasa, utamanya bagi mereka yang melaksanakannya.

Sudah tak mungkin disangkal, jika keindahan merupakan kebutuhan bagi kita sebagai insan manusia. Terlebih sebagai Ummat pengikut Nabi Muhammah Shalallahu Alaihi Wa-sallam. Lalu mengapa sebagian ummat “menyangkal” yang indah-indah.

Begini, seringkali kita Orang Banjar didengarkan kalimat-kalimat sarat makna “Malihat itu hak mata, mencium itu hak hidung. Mandangar itu hak talinga”.

Dari kalimat itu, saya lebih banyak mendapatkan pencerahan dari para tetua (orang sholeh) jika kalimat itu lebih bermakna, jangan menghayati apa yang kita lihat, kita cium dan kita dengar sepanjang hal itu menjauhkan kita dari ajaran Islam yang identik dengan keindahan.

Saya sendiri sempat terhenyak dengan pencerahan akan makna tersebut. Karena secara naluri ketiga indera itu akan reflek berpaling terhadap apa saja yang tidak indah.

Secara logika kalau bola anda melihat pemandangan yang tidak indah (jauh dari kesantunan agama) reflek anda akan memalingkan muka atau memejamkan mata. Sama halnya dengan hidup. Ketika anda mencium bau busuk minimal anda akan menutup hidung anda.

Tetapi bagaimana dengan telinga? Di zaman fitnah sekarang ini, utamanya bagi kita orang lapangan suara-suara sumbang hampir memenuhi ruang informasi yang ada. Baik secara langsung maupun tidak langsung. Bandingkan dengan suara-suara indah yang berisikan kalimat-kalimat mulia, persentasi fungsi pendengaran telinga jauh lebih kecil.

Baca juga  Masa Muda Masa Keemasan Membangun Negeri

Ironis kan! Tetapi itulah realita. Berapa banyak konflik yang terjadi karena ketidakmampuan dalam meredam bisikan-bisikan bernda fitnah. Karena bermula dari mendengar, kemudian tanpa melakukan cek dan ricek hulu hilir, jadilah konflik yang tak berpangkal.

Kalau sudah masuk dalam ranah itu, kesempitan dadalah yang ada. Sifat lapang dada seakan menjauh dari diri hingga larut dalam kenistaan dunia dan hati pun menjadi keras.

Pada Surat  Al an’am 125. (YASTROH SHODROHU) lapang dada lawannya (YADLI QU) sempit. Dalam ayat lain lapang dada digandengkan oleh Allah lawan katanya, bukan sempit tapi hati yang “keras” Surat A2-2umar: 22.

AFA MAY YASHROH SHODROHU LIL ISLAM FAHUWA ‘ALA NURI MIN ROBBIHI, FA WAILU LIL QOSIYYATI QULUBUHUM MIN DZIKRILLAH ULAA’IKA FI DIOLALIM MUBIIN.

Maka yang telah Allan lapangkan dadanya untuk (Islam) maka la hidup dalam Cahaya. –Sebaliknya celaka bagi mereka yang keras hatinya untuk Mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.

Kenapa keras hati ini? Karena lupa dari Allah. jauh dari tengingat Allah. Jadi  hati kita akan menjadi lapang ketika sering dan selalu tengingat Allah.  Akan menjadi sempit atau hati kita menjadi keras karena kita lupa pada Allah.

Afwan, Wassalam

BERITA LAINNYA

spot_img

BERITA TERBARU