Bismillahirrahmanirrahim
Pribahasa “Karena Mulut Badan Binasa” penuh makna ini seringkali disampaikan para orang tua kepada anak-anaknya. Intinya berhati-hatilah dalam berkata-kata. Kata-kata yang keluar dari mulut seseorang bisa berdampak pada kebaikan maupun keburukan.
Safariyansyah,Budayawan Spiritual
Mencari yang Hilang Memelihara yang terlupakan
Sumpah serapah, hinaan, sanjungan, maupun kalimat-kalimat bijak merupakan susunan dan kata-kata yang terucap melalui mulut. Karena itulah dari kata-kata memberikan arti yang bisa memberikan dampak dari para pendengarnya.
Kultur dan budaya di Negeri Serambi Makkah telah mengajarkan bagaimana kita berlomba untuk memberikan yang terbaik dalam mengarungi hidup dan kehidupan. Tentu saja tak lepas dari ajaran-ajaran yang telah disampaikan sekaligus dicontohkan para pendiri negeri. Termasuk dalam berkata-kata yang lebih baik.
Ajaran ini tidak terlepas dari yang terekam dalam Kitab Suci Al-Qur’an sebagai panduan hidup. “Dan katakanlah kepada hamba-hamba ku hendaklah Mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar)”.
Baik yang dimaksud adalah baik dalam memilih kata- kata, baik dalam kandungan kata-katanya, baik dalam penyampaiannya.
Ada sebuah syair menyebutkan “Ambillah yang baik, yang tidak baik tinggalkanlah. (Ambillah sesuatu yang Positif dan tinggalkan hal yang negatif)
Kalimat-kalimat suci tersebut sungguh acapkali terdengar dan didengarkan oleh ratusan para pemilik katalognya. Namun realitanya tak jarang pula ajaran-ajaran itu hanya sebatas pengetahuan bagi kebanyakan orang.
Ini realita dan nyaris setiap hari itu semua bisa didapati. Semisal perkataan dari berbagai pihak dalam sebuah ajang politik, birokrasi maupun perdebatan-perdebatan hukum. Pada moment ini, banyak “ahli-ahli” dadakan bermunculan.
Bisa dibayangkan kan, orang-orang yang sebelumnya sama sekali tidak terlibat maupun memiliki dasar ilmu politik, mendadak setiap saat membicarakan politik dan hukum. Seolah-seolah dirinyalah yang paling mengerti dengan persoalan politik yang tengah terjadi.
Namun setelah ditelusuri ternyata apa-apa yang disampaikannya diperoleh hanya “mendengarkan pihak-pihak yang terlibat langsung panggung politik, maupun menukil sebaran informasi yang berseliwaran di media sosial.
Seperti halnya yang saat ini masih terjadi di tengah-tengah kehidupan sosial kita yang baru saja menuntaskan Pemilihan Kepala Daerah serentak 2024, se Indonesia. Hampir di semua sudut-sudut negeri ini tidak terlepas dari omong-omongan bernuansa politik. Masing-masing beradu argumen dalam menyikapi satu-persatu persoalan yang dihadapi para kandidat.
Modalnya ya itu tadi, diambil dari pendapat-pendapat kelompok tertentu dengan tujuan mengalang simpatik terhadap salah satu kandidat yang mereka dukung. Sedemikian larutnya sampai-sampai dirinya tidak lagi menyadari jika sesungguhnya dia telah menjadi konsumen dari pembuat berita hoax.
Namanya juga hoax (berita bohong) pada akhirnya akan bermuara pada kemenangan maupun kekalahan jagoannya. Kebiasaan, pihak yang menang memilih untuk berhenti menggalang opini masyarakat luas.
Tetapi tidak dengan kandidat yang kalah. Mereka cenderung memproduksi berita-berita yang bermaterikan tuding-tudingan, fitnah hingga menyerang kandidat yang memenangi kontestasi.
Ujung-ujungnya bukan solusi yang didapat tetapi lebih mencari menang atau kalah!
Lalu bagaimana dengan kandidat yang menang? Tentu kalau pihak ini memiliki pembimbing yang benar, dipastikan tidak akan ikut serta memproduksi kalimat-kalimat hoax.
Begitulah kultur sosial masyarakat kita. Hanya saja tidak sekali dua mereka harus berurusan dengan hukum negara untuk mempertanggungjawabkannya. Karena itu mari kita renungkan bersama-sama untung ruginya bagi diri masing-masing dalam mengelola kata-kata sebagaimana yang diajarkan oleh para pendiri mobil dan orang tua kepada anak-anaknya..
AFWAN
WASSALAM