Linkalimantan-Pandemi COVID 19 hingga saat ini belum usai. Ketergantungan masyarakat dengan sifat konsumtif terhadap perangkat elektronik untuk bekerja dan mendapatkan hiburan di rumah pun semakin besar sehingga potensi timbunan limbah elektronik pun sangat besar.
Dikutip Linkalimantan.com pada id.wikipedia.org, Limbah elektronik adalah peralatan elektronik atau listrik yang sudah tidak terpakai. Peralatan elektronik bekas yang dimaksudkan untuk digunakan ulang, dijual kembali, upcycling, didaur ulang, atau dibuang juga termasuk limbah elektronik. Pengolahan limbah elektronik secara tidak tepat di negara-negara berkembang dapat menyebabkan efek buruk terhadap kesehatan manusia dan polusi lingkungan.
Menurut laporan tahunan Global E-Waste Monitor 2020, yang dirilis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), jumlah sampah elektronik global pada 2019 mencapai 53 juta ton. PBB memprediksi volumenya akan mencapai 74 juta ton pada 2030, dan melonjak lagi menjadi 120 juta ton pada 2050.
Waste Electrical and Electronic Equipment (WEEE) Forum, memperkirakan jumlah e-waste yang dibuang mencapai 57,4 juta ton pada tahun 2021. Jika dibayangkan maka beratnya kira-kira hampir sama dengan berat Tembol Besar China, menurut WEEE, meski perkiraan berat Tembok Besar China bervariasi.
Dikutip dari katadata.co.id, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat timbunan sampah elektronik di Indonesia tahun 2021 mencapai 2 juta ton. Dari jumlah tersebut, pulau Jawa berkontribusi hingga 56% dari total sampah elektronik tahun ini.
Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan B3 (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rosa Vivien Ratnawati mengakui pengelolaan sampah elektronik di Indonesia memang belum optimal. Oleh sebab itu, persoalan limbah sampah elektronik ini harus segera dituntaskan. (link/net).