Minggu, Juni 30, 2024
BerandaHeadlineMerangkul Keanekaragaman Untuk Menciptakan Generasi Unggul Berbasis Pendidikan Multikultural Di Indonesia

Merangkul Keanekaragaman Untuk Menciptakan Generasi Unggul Berbasis Pendidikan Multikultural Di Indonesia

Katanya pendidikan adalah ikhtiar yang paling fundamental dalam membangun bangsa lalu timbul pertanyaan ikhtiar apalagi yang harus kita lakukan?  Sedangkan pendidikan Indonesia masih terpusat seputar otak atik kurikulum pemerataan akses pendidikan (equality), mutu pendidikan lulusan sekolah maupun perguruan tinggi yang melipung dengan menghadapi tantangan globalisasi.

Pernyataan itu saya ambil dari konten Bukalapak dari bapak Ai NurHidayat Pangandaran usia 4 tahun yang lalu 29 di 2024 ini beliau berusia 33 tahun , 4 tahun yang lalu beliau dan teman-temannya membangun komunitas yang mana komunitas tersebut membuka kelas terkait dengan multikultural.

Pendidikan merupakan bagian dari kegiatan kehidupan masyarakat dan berbangsa oleh karena itu kita bahasa Indonesia perlu pendidikan di dalam dunia, kegiatan pendidikan merupakan perwujudan dari cita-cita bangsa. Dengan demikian kegiatan pendidikan nasional perlu diorganisasikan dan dikelola sedemikian rupa supaya pendidikan nasional sebagai suatu organisasi dapat menjadi sarana untuk mewujudkan cita-cita nasional (Arifin, 2012).

Secara rinci cita-cita nasional yang terkait dengan kegiatan pendidikan telah dituangkan dalam undang-undang sisdiknas nomor 20 tahun 2003 bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk berkembangnya potensi pese rta didik agar menjadi manusia yang beriman dan mata uang kepada Tuhan yang maha Esa, berakhlak mulia berilmu, menghilangkan kebodohan, kreatif, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (Arifin, 2012).

Pendidikan multikultural adalah merupakan suatu gerakan pembaharuan dan proses untuk menciptakan lingkungan pendidikan setara dengan seluruh siswa. .

Sebagai sebuah gerakan pembaharuan istilah pendidikan multikultural masih dipandang asing bagi masyarakat umum mengapa karena banyak perdebatan-perdebatan yang menjadikan perbedaan di antara kita sendiri.

Bagi masyarakat umum bahkan menafsirkan terhadap definisi maupun pengertian pendidikan multikultural juga masih diperdebatkan di kalangan pakar pendidikan (Arifin, 2012)

Seperti pendapat Anderesen dan Cusher (1994) yang sebagaimanapun di kutip Mahfud (2008), bahwa pendidikan multikultural diartikan sebagai pendidikan mengenai keberagaman budaya.

Sedangkan Hernandez (1989) , mengartikan pendidikan multikultural sebagai perspektif yang mengakui realitas sosial, politik, dan ekonomi yang dialami oleh masing-masing individu dalam pertemuan manusia yang kompleks dan beragam secara kultur, dan merefleksikan pentingnya budaya ras, seksualitas dan gender etnisitas, agama, status sosial, ekonomi, dan pengecualian pengecualian dalam proses pendidikan (Arifin, 2012)

Dengan semakin jauh nya pendidikan maka semakin banyak juga tantangan yang harus di hadapi , maka dari kita dengan makhluk Tuhan yang paling di anggap makhluk yang paling sempurna, semestinya membesarkan Ikhtiar dalam berpendidikan, banyak orang yg bertanya Ikhtiar yang bagaimana lagi yang harusnya di lakukan dalam menjalankan tugas dalam berpendidikan di dunia, terutama di Negara kita sendiri yaitu negara Indonesia yang mana ikhtiar tersebut harus tidak ada batasan , karena menghadapi perbedaan dalam berpendidik, apa lagi peserta didik yang merantau perjalanan yang di tempuh 8 jam demi mendapatkan pendidikan dan mencari pengalaman itu sendiri di kota orang.

Dalam artikel “Mengeja Indonesia” disebutkan bahwa bangsa kita bangsa yang unik bangsa yang memiliki banyak anugerah, yang mana bangsa kita dianugerahi beragaman etnis yang banyak, ribuan suku, ras, bahasa adat dan istiadat dan semua itu menjadi satu di dalam satu bangsa yaitu bangsa Indonesia yang mana bangsa kita ini telah maju dalam perkembangan pendidikan multikultural sendiri.

Hal ini sudah menjadi pengetahuan umum di rakyat Indonesia, rakyat Indonesia sadar akan bangsa kita sendiri yang telah di anugerahi banyak keunikan.

Dalam perjalanan historisnya, negara ini memang lahir dari rahim yang majemukannya maka dari itu bisa dibilang negara ini merupakan negara yang sangat plural.

Negara yang sangat plural yang dimaksud itu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan politik.

Dengan berbagai macam perbedaan yang tercantum di dalamnya. Maka dirumuskan lah semboyan yang dijadikan falsafah dalam menjalankan seni-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yakni bhineka tunggal ika yang artinya “Berbeda-beda tetapi tetap satu jua”.

Dari kalimat itu tadi sejatinya bangsa ini tuh merupakan tempat yang sangat nyaman dan bersahabat dengan segala perbedaan yang ada di dalam bentuk apapun.

Namun bak menulis di bibir pantai semboyan yang seharusnya menjadi nafas gerak di dalam menjalankan roda kehidupan berbangsa dan bernegara banyak sekali fenomena-fenomena di negara ini yang tidak mencerminkan nilai-nilai toleransi dan pada akhirnya bertolak belakang atau menyelisihi semboyan negara itu sendiri.

Kemajemukan pada satu sisi memang merupakan bentuk keragaman yang khas dan indah sekaligus menjadi kekuatan sosial jika satu sama lain mengedepankan nilai gotong royong bahu membahu dan bersinergi sesama dalam membangun kemajemukan tersebut.

Namun di sisi lain jika kemajemukan tersebut tidak kelola dan dibina dengan baik dan tepat maka akan menjadi pemicu timbulnya konflik dan kekerasan yang sangat dapat menggoyahkan sendi-sendi kehidupan di bangsa ini yaitu bangsa kita sendiri bangsa Indonesia.

Perlu diingat mengenai strategi yang terjadi pada kisaran bulan Agustus 2019 tahun lalu yaitu tindakan represif dan diskriminatif oleh pihak aparat serta beberapa ormas reaksioner terhadap puluhan mahasiswa Papua yang berada di Surabaya Jawa Timur. Peristiwa yang berawal dari perusakan bendera pusaka yang terletak di depan asrama mahasiswa Papua di Surabaya itu kemudian disusul oleh pengepungan beberapa pihak karena diduga bendera pusaka tersebut dirusak oleh oknum mahasiswa Papua yang berada dalam asrama, juru bicara Front rakyat Indonesia untuk West Papa (FRI-WP),

Dan Surya anta lebih jauh mengatakan “pengepungan dan penyerangan ini juga diiringi perusakan berbagai fasilitas di asrama. Para pengepung juga beberapa kali melontarkan makian bernada rasis kepada mahasiswa Papua.” Sangat disayangkan sekali kejadian yang bisa dikatakan terjadi di bulan sakral bangsa Indonesia karena bertepatan dengan hari kemerdekaan bangsa Indonesia yaitu pada tanggal 17 Agustus 2019 belum mampu dijiwai dengan spirit kebangsaan dan kesatuan yang akhirnya menimbulkan perpecahan contohnya saja peristiwa tadi hanyalah setetes sampel dari sekian banyaknya konflik berbau SARA yang terjadi di Indonesia dan merupakan indikator dari buruk dan merosotnya pendidikan multikultural yang ada di Indonesia sampai saat ini (Suciptoh, 2020).

Semoga dengan kejadian di atas itu tidak menjadi masalah Indonesia yang berlarut-larut yang tidak mau menerima perbedaan di Indonesia ini justru dengan kita yang banyak perbedaan di bangsa kita menjadikan keunikan di mata negara-negara lain. Seharusnya kita bangga karena di mata negara lain negara kita itu terkenal akan kesatuannya dan solidaritasnya.

Fenomena yang terjadi seperti kasus di atas itu menunjukkan bahwa pendidikan multikultural di Indonesia itu belum mencapai hasil maksimal dan merata Karena penyebabnya belum meratanya pelayanan pendidikan yang diterima oleh peserta didik.

Hal ini pernah saya baca dalam jurnal yang berisi pendidikan multikultural di Indonesia menurut undang-undang nomor 20 tahun 2003 merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian kecerdasan akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya masyarakat, bangsa dan negara.

Menurut Ki Hajar Dewantara sendiri dalam normina 2017 pendidikan merupakan tuntutan dalam tubuh kembangnya anak-anak maksudnya pendidikan menutupi segala potensi yang ada pada diri anak-anak agar mereka secara individu sekaligus berkelompok atau bermasyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan secara maksimal.

Dari Tobroni , dkk (2007, dalam Wihardit;2010) mengetengahkan definisi pendidikan multikultural itu sendiri sebagai pendidikan yang membuka kesempatan pada semua peserta didiknya tanpa memandang kelas sosial, jenis kelamin, ras, etnis budaya dan agamanya (Dera Nugraha, 2020).

Walaupun pengertian tersebut sangat sederhana,pendidikan multikultural harus diberi maknadan sesuai dengan fungsi  pendidikan nasional. Gorski dan Colvert dalam Tobroni mendefinisikan Pendidikan Multikultural sebagai berikut:

  • Setiap siswa harus mempunyai  kesempatan yang sama dalam mengembangkan potensi dirinya;
  • Mempersiapkan  setiap siswa untuk berpartisipasi  secara kompeten dalam masyarakat interbudaya
  • Guru dipersiapkan agar dapat membantu belajar setiap siswa secara efektif tanpa memandang latar belakang  budaya yang berbeda;
  • Sekolah harus  berpartisipasi aktif dalam mengakhiri segala bentuk penindasan;
  • Pendidikan harus berpusat pada siswa dan terbuka terhadap aspirasi dan pengalaman siswa.

Amruddin (2016) sendiri mengatakan dia mengutarakan arti pendidikan multikultural sebagai proses pendidikan yang berwujud pada kegiatan pembelajaran di satuan pendidikan di mana memposisikan perbedaan itu sebagai hal yang biasa maka peserta didik menjadi terbiasa dan tidak mempersoalkan perbedaan untuk berinteraksi dan berteman, tidak menghiraukan perbedaan latar belakang suku bangsa agama, maupun adat dan istiadat yang ada di perbedaan budaya kita sendiri, agama dan aspek multikultural lainnya (Dera Nugraha, 2020)

Bukankah pernyataan-pernyataan di atas itu sudah seharusnya menjadi bagian dari pemikiran kita bahwa Indonesia itu perlu akan keberagaman budaya, adat dan istiadat, ras, etnis dan agama.

Mungkin dengan kasus perbedaan dalam bangsa ini juga belum merata dan maksimal karena anak dari keluarga dengan latar belakang ekonomi menengah ke atas, bisa menikmati layanan pendidikan yang sangat berkualitas. Sebaliknya masyarakat yang telah ekonomi rendah hanya bisa menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah yang tidak memerlukan biaya pendidikan besar, dengan fasilitas pendidikan yang sangat berbeda kesenjangan akses dan mutu pendidikan di Indonesia masih kontras terjadi (Aditomo dan Felicia, 2018)

Baca juga  Presiden Tegaskan Pentingnya Lingkungan Sekolah yang Aman

Problem pembelajaran multicultural di Indonesia dianggap masih memiliki tantangan yang besar dalam perkembangan pendidikan di Indonesia

Problem multkultural di negara Indonesia ini dapat difilter melalui pembelajaran atau pendidikan multikutural. Pendidikan multikultural melihat masyarakat secara lebih luas, berdasarkan pandangan dasar bahwa sikap “indiference”dan “non-recognition” tidak hanya berakar dari ketimpangan struktur rasial, tetapi paradigma pendidikan multikultural mencakup subjek-subjek mengenai ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, dan keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam berbagai bidang sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya.

Paradigma seperti ini akan mendorong tumbuhnya kajian-kajian tentang ”ethnic studies” untuk kemudian menemukan tempatnya dalam kurikulum pendidikan sejak dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pendidikan multikultural adalah sebuah bentuk pendidikan yang menerapkan strategi dan konsep pendidikan yang berbasis pada pemanfaatan keragaman yang ada di masyarakat, khususnya yang ada pada siswa seperti keragaman etnis, budaya, bahasa, agama, status sosial-etnis, gender, kemampuan, umur, dan ras (Abdollah, 2023)

Indonesia merupakan salah satu bangsa yang memiliki keanekaragaman dalam suku, agama, ras, dan kelas social yang mana keanekaragaman itu juga dimiliki oleh berbagai Negara maju seperti Amerika, Australia, Inggris dan Negara maju lainnya. Walaupun memiliki berbagai perbedaan yang beragam, masing-masing negara memiliki latar belakang atau historical story yang berbeda dalam mengembangkan pendidikannya, yang mana latar belakang ini memberikan warna dalam menjalankan pendidikan multikultural disuatu Negara.

Mengapa banyak beranggapan seperti itu ?  Karena perbedaan ras ataupun budaya yang dari daerah lain itu sangat berbeda kebudayaannya dilihat dari keseharianya yang karakternya menjadi beda di daerah orang lain.

Apakah hal ini wajar di negara Indonesia sendiri? Ya hal ini sangat wajar sekali di Indonesia karena Indonesia sendiri memiliki keanekaragaman suku, budaya, adat istiadat, dan agama. Hal tersebut itu bisa menjadi pengaruh mengapa berpendidikan di Indonesia ini multikultural itu menjadi tantangan yang besar, dari perbedaan itu kita sering mendengar kasus-kasus pembullyan ataupun salah menyalahkan karena perbedaan.

Isu agama yang diangkat dalam pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta lalu ternyata berdampak sampai ke dunia pendidikan. Hal tersebut salah satunya bisa kita ambil dalam kasus berikut:

Pada beberapa kasus, ada murid beragama Islam bersekolah di sekolah Kristen. Bahkan saat ini ada kasus murid Kristen bersekolah di madrasah ibtidaiyah (MI) yang merupakan sekolah dengan pelajaran secara kumulatif lebih besar agama Islamnya.

Rohmat mengatakan, kasus perbedaan murid dari mayoritas agama sekolah tersebut sebetulnya tidak ada aturan yang mengikat. Dengan demikian, sekolah atau madrasah tetap berkewajiban menerima murid yang berbeda agama.

Bukan hanya murid, Rohmat mengatakan bahwa guru yang mengajar pelajaran eksakta atau mata pelajaran umum lainnya pun tidak dikenakan aturan sehingga bebas untuk mengajar asalkan memiliki kompetensi untuk mengajar.

Tidak ada ketentuan yang mewajibkan madrasah untuk hanya menerima siswa beragama Islam, dan juga guru diizinkan berasal dari latar belakang agama non-Islam, kecuali untuk mata pelajaran agama Islam dan matematika,” katanya dalam pertemuan dengan wartawan di Hotel D’Anaya, Bogor, Jawa Barat, Kamis (9/11/2023) malam.

Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa kasus-kasus seperti itu juga kerap terjadi di wilayah Indonesia bagian timur, antara lain Nusa Tenggara Timur (NTT). Di sana, ada banyak kasus anak berbeda agama bersekolah di madrasah karena melihat dari kualitas sekolah tersebut.

“Di NTT kasus-kasus itu banyak, ada madrasah bagus, non-Muslim ikut. Tidak pernah ada pelanggaran,” jelas Rohmat.

Ia juga menjelaskan soal pengambilan nilai pelajaran agama bagi murid beragama Kristen yang bersekolah di madrasah. Menurut Rohmat, sekolah atau madrasah harus mengakui nilai agama Kristen yang diakumulasikan dari gereja tempat murid itu beribadah. Ini bisa dijadikan referensi atau bukti bagi madrasah untuk mempertimbangkan penilaian agama Kristen dalam pencapaian akademik anak tersebut.

“Kalau anak itu rajin ke gereja, keluarkan nilai agama dari gereja, itu sah. Tidak boleh ada pemaksaan pelajaran fiqih (Islam) misalnya,” kata Rohmat.

Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa terdapat prinsip non-diskriminatif dan kebebasan beragama yang harus dihormati sehingga murid dapat memilih dan mengikuti pelajaran agama sesuai dengan keyakinan agama yang mereka anut, tanpa tekanan atau pemaksaan.

“Jika sekolah memiliki anak-anak dari 15 agama yang berbeda, maka harus disediakan guru agama yang mampu mengajar sesuai dengan agama yang dianutnya. Ini akan memungkinkan siswa untuk memahami dan mengamalkan ajaran agama mereka dengan benar,” pungkasnya.

UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Dilansir situs resmi KPAI, Undang-Undang (UU) Nomor 20 pasal 12 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ayat (1) huruf a mengamanatkan bahwa “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.”

Tidak hanya di institusi pendidikan negeri, melainkan di lembaga pendidikan swasta, keharusan memberikan pelajaran agama sesuai dengan keyakinan masing-masing siswa harus diwujudkan. Oleh karena itu, tugas pemerintah adalah menyediakan atau menunjuk pendidik agama untuk semua siswa sesuai dengan kepercayaan agama mereka, baik di sekolah negeri maupun swasta.

Pasal 55, ayat (5) menegaskan: “Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana dan sumber daya lainya secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah”.

Pemberian ciri keagamaan dalam penyelenggaraan sekolah umum adalah hak masyarakat. UU Nomor 20 Tahun 2003, pasal 55 menegaskan: “Masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat.”

Penyelenggaraan pelajaran agama di sekolah sesuai dengan ciri keagamaan merupakan hak sekaligus kewajiban sekolah yang diselengarakan oleh masyarakat. PP Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, pasal 3 menegaskan: “Setiap satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama.”

Jadi dengan kasus di atas itu di daerah NTT sendiri khususnya hal tersebut masih bisa di terima jika umat yang beragama Kristen bersekolah di madrasah yang berpendidikan Islam, karena menurut ia sendiri kualitas di sekolah madrasah itu bagus untuk menunjang pendidikanya (Akar, 2023)

Kesimpulan

Pendidikan memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat dan negara. Tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, berakhlak mulia, berilmu, kreatif, demokratis, dan bertanggung jawab. Pendekatan pendidikan multikultural penting untuk menciptakan semangat belajar yang melibatkan semua peserta didik tanpa membedakan kelas sosial, gender, ras, budaya, dan agama. Namun, kemajemukan ini juga bisa menimbulkan konflik dan kasus diskriminasi. Distribusi pendidikan di Indonesia masih belum merata dan efisien, dengan anak-anak dari keluarga ekonomi menengah ke atas memiliki akses terhadap pendidikan berkualitas tinggi. Keberagaman suku, agama, ras, dan kelas sosial menjadi tantangan dalam pendidikan multikultural. Pemerintah perlu memastikan bahwa ada guru agama sesuai dengan keyakinan agama siswa tanpa diskriminasi. Dengan pendekatan pendidikan multikultural yang baik, Indonesia dapat menghayati dan menghargai keberagaman sebagai kekuatan bangsa.

Saran

  • Revisi Kurikulum Pendidikan: Memperbarui kurikulum nasional untuk memasukkan materi yang mengajarkan nilai-nilai multikulturalisme, penghargaan terhadap keanekaragaman budaya, agama, dan etnis, serta mempromosikan pemahaman lintas budaya di antara siswa.
  • Pelatihan dan Pengembangan Guru: Memberikan pelatihan kepada guru dalam hal pendidikan multikultural, termasuk strategi pengajaran yang memfasilitasi penghargaan terhadap perbedaan, penanganan konflik antarbudaya, dan membangun lingkungan kelas yang inklusif.
  • Penyediaan Materi Pembelajaran yang Beragam: Memastikan ketersediaan buku teks, materi pembelajaran, dan sumber daya lain yang mencerminkan keberagaman Indonesia secara akurat dan positif, serta mendorong pemahaman yang mendalam tentang masyarakat Indonesia yang multikultural.
  • Promosi Dialog Antarbudaya: Menggalakkan kegiatan di sekolah yang mendorong dialog antarbudaya antara siswa dari berbagai latar belakang. Ini bisa berupa diskusi, kegiatan kolaboratif, atau proyek bersama yang mempromosikan pemahaman dan kerjasama lintas budaya.
  • Pembentukan Lingkungan Sekolah yang Inklusif: Menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan inklusif bagi semua siswa, tanpa memandang latar belakang budaya atau etnis mereka. Hal ini mencakup kebijakan anti-diskriminasi dan program untuk mendukung siswa yang mungkin menghadapi tantangan akibat perbedaan budaya atau bahasa.
  • Partisipasi Orang Tua dan Komunitas: Melibatkan orang tua dan komunitas lokal dalam mendukung pendidikan multikultural di sekolah, misalnya dengan mengadakan acara-acara pendidikan, seminar, atau kegiatan budaya bersama.
  • Penggunaan Teknologi dan Media: Memanfaatkan teknologi dan media untuk menyebarkan informasi tentang nilai-nilai multikultural dan untuk mempromosikan pemahaman lintas budaya di kalangan siswa, guru, dan masyarakat umum.
  • Evaluasi dan Penilaian Berkelanjutan: Melakukan evaluasi secara berkala terhadap program pendidikan multikultural yang diterapkan, untuk mengukur efektivitasnya dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang inklusif dan mengidentifikasi area-area yang perlu perbaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdollah. (2023). Problem Pendidikan multikultural Di Indonesia.
Akar, H. (2023). kemenag tak di anggap masalah jika ada murid berasal dari agama yang berbeda.
Arifin, A. H. (2012). Implementasi pendidikan multikultural dalam praksis pendidikan di Indonesia. Pembangunan pendidkan fondasi dan aplikasi.
Dera Nugraha, U. R. (2020). Urgensi pendidikanmultikultural di Indonesia. Pendidikan Pkn pancasila dan kewarganegaraan.
Suciptoh, R. E. (2020). Pendidikan multikultural alat ikhtiar mencegah perpecahan. Mengeja Indonesia. (***)

*** Oleh : Antria Khusnul Khotimah (Email: khusnulantri@gmail.com)

BERITA TERKAIT
- Advertisment -spot_img

TERPOPULER