Jumat, April 19, 2024

Pakar IPB: Hampir 50 Persen Rakyat Indonesia Alami Kelaparan Tersembunyi

Linkalimantan.com-Pandemi yang berlangsung lebih dari dua tahun mempengaruhi gizi masyarakat di Indonesia. Kelaparan tersebunyi menjadi salah satu dampaknya.

Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Ekologi Manusia IPB, Prof. Drajat Martianto mengatakan, meski kondisi ketahanan pangan Indonesia masih tergolong baik, tapi terjadi penurunan dalam ketahanan pangan nasional.

Dia menyebut, posisi Indonesia di Global Food Security Index mengalami penurunan pasca pandemi COVID-19. “Indonesia saat ini menghadapi triple burden of malnutrition, 3 masalah gizi sekaligus, yaitu gizi kurang (stunting dan wasting), obesitas dan kurang gizi mikro (KGM) atau disebut sebagai kelaparan tersembunyi (the hidden hunger),” kata dia dalam keterangannya, Minggu (18/9/2022) dikutip dari laman ipb.ac.id.

Dia menyampaikan, tantangan terbesar bangsa Indonesia saat ini bukan lagi kurang energi dan protein, tetapi kelaparan tersembunyi (hidden hunger). Yaitu, berupa defisiensi zat gizi mikro, khususnya defisiensi zat besi, yodium, asam folat, seng, vitamin A, dan zat gizi mikro lainnya.

Dia menjelaskan, penelitian menunjukkan hanya 1 persen rakyat Indonesia yang tidak mampu mengakses pangan makro (yang mengandung karbohidrat). Yang menjadi masalah adalah hampir 50 persen penduduk Indonesia yang kekurangan sayuran, buah-buahan, pangan hewani dan kacang-kacangan.

“Kualitas konsumsi pangan kita belum baik. Penelitian menunjukkan 1 dari 2 penduduk Indonesia tidak mampu membeli pangan hewani, buah, dan sayuran. Mereka mengalami kelaparan tersembunyi,” tukasnya.<

Disebut kelaparan tersembunyi, karena seringkali tanda-tandanya tidak nampak, tapi sesungguhnya dampaknya sangat besar. “Zat gizi mikro telah terbukti sebagai unsur gizi penting untuk peningkatan produktivitas kerja, kecerdasan, dan imunitas,” tandasnya.

Secara nasional, lanjutnya, Indonesia dapat mengalami kerugian lebih dari Rp50 triliun dari rendahnya produktivitas kerja akibat Anemia Gizi Besi (AGB). Angka ini belum termasuk biaya layanan kesehatan akibat defisiensi gizi mikro yang parah dan masalah-masalah gizi yang lain.

“Aneka ragam pangan, suplementasi dan fortifikasi pangan disertai dengan higiene dan sanitasi lingkungan merupakan solusi untuk mengatasi masalah kurang zat gizi mikro. Fortifikasi atau penambahan zat gizi tertentu pada pangan telah terbukti efektif dalam menurunkan kelaparan tersembunyi, sekaligus sangat cost-effective,” ujarnya.

Menurutnya, biaya fortifikasi pangan untuk menanggulangi kurang yodium, vitamin A dan zat besi di berbagai negara umumnya kurang dari 0,5 persen harga produknya, tanpa biaya tambahan untuk pendistribusiannya hingga sampai ke konsumen.

Mengingat peranannya terhadap produktivitas kerja dan pendapatan, program fortifikasi pangan juga dilihat sebagai bagian dari program pengentasan kemiskinan.

Selama ini, lanjutnya, pemerintah Indonesia telah menetapkan program fortifikasi pangan wajib untuk mengatasi Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKI) melalui fortifikasi garam, Anemia Gizi Besi (AGB) melalui fortifikasi terigu dan fortifikasi minyak goreng dengan vitamin A untuk mengatasi kurang vitamin A (KVA).

“Komitmen pemerintah melakukan fortifikasi pangan ke depan juga masih sangat kuat. Ini ditunjukkan dengan masuknya program fortifikasi pangan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024. Namun demikian, disadari bahwa dinamika program fortifikasi pangan sangatlah besar,” tambahnya.

Dia mengatakan, implementasi fortifikasi garam beryodium dihadapkan pada masih cukup banyaknya industri garam yang tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI), sehingga target universal salt iodization hingga saat ini belum terwujud.

Konsumsi garam yang memenuhi syarat juga baru mencapai 77 persen rumah tangga.

“Sementara itu, implementasi fortifikasi wajib vitamin A pada minyak goreng sangat dinamis, dipengaruhi oleh beragam tantangan. Mulai isu importasi retinil palmitat versus penggunaan beta karoten hingga isu lingkungan terkait perubahan dari minyak curah ke minyak kemasan dan sebagainya,” tutur dia.

Sedangkan, fortifikasi terigu juga dihadapkan pada isu importasi fortifikan dan gandum sebagai pangan pembawa (vehicle) yang nyaris 100 persen impor, hambatan perdagangan serta efektivitas zat besi yang digunakan yang masih memerlukan bukti ilmiahnya di lapang.

“Untuk melengkapi fortifikasi wajib diperlukan strategi fortifikasi pangan skala kecil pada pangan pokok seperti sagu, tepung jagung, tepung ubi kayu/mocaf dan minyak kelapa, minyak curah sawit. Strategi ini untuk menjamin agar tumbuh kembang anak Indonesia di setiap pelosok tanah air bisa berjalan optimal,” ujar dia.

Dia menambahkan, sebagai negara produsen beras terbesar ketiga di dunia fortifikasi beras untuk distribusi kelompok khusus (bantuan sosial, bantuan bencana alam) maupun voluntary secara komersial perlu dikaji lebih mendalam.<

“Pertimbangannya, prevalensi AGB di Indonesia masih tinggi dan tidak hanya diderita rumah tangga miskin, sehingga diharapkan dapat efektif mencakup semua populasi karena beras dikonsumsi hampir semua orang Indonesia,” pungkasnya.(link/net).

spot_img
spot_img
spot_img
spot_img

TERPOPULER

spot_img
spot_img
spot_img