Link – PDI Perjuangan (PDIP) menjadi satu-satunya partai di parlemen yang masih bersikukuh mengusulkan wacana pemilu sistem proporsional tertutup atau mencoblos partai politik (parpol) di Pemilu 2024.
Dikutip dari https://www.cnnindonesia.com/ wacana itu pertama kali dilontarkan oleh partai besutan Megawati Soekarnoputri pada Februari 2022 lalu. PDIP menganggap sistem proporsional terbuka atau mencoblos calon anggota legislatif (caleg) yang diterapkan saat ini menelan ongkos Pemilu mahal.
Isu tersebut kemudian semakin gaduh usai kader PDIP-NasDem resmi mengajukan gugatan uji materiil terhadap Undang-undang (UU) Pemilu terkait sistem proporsional terbuka ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Namun baru-baru ini penolakan keras datang dari delapan parpol di parlemen. Mereka adalah Partai Golkar, Gerindra, Demokrat, PKB, PAN, NasDem, PPP, dan PKS. Penolakan yang diinisiasi Golkar itu meminta agar MK tetap mempertahankan aturan mencoblos caleg di Pemilu 2024.
“Kami menolak proporsional tertutup dan memiliki komitmen untuk menjaga kemajuan demokrasi di Indonesia yang telah dijalankan sejak era reformasi. Sistem pemilu proporsional tertutup merupakan kemunduran bagi demokrasi kita,” bunyi salah satu poin pernyataan sikap delapan parpol.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah memandang wacana pemilu sistem proporsional tertutup itu bisa menguntungkan PDIP dari perolehan suara. Karenanya, ia mengaku tidak heran apabila PDIP terkesan ‘ngotot’ untuk terus menyukseskan isu tersebut.
“Situasi saat ini, PDIP merasa diuntungkan, setidaknya ia melihat peluang partai lain akan lebih terpuruk jika gunakan sistem tertutup,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Senin (9/1).
Dedi menilai PDIP memiliki kepercayaan diri yang cukup tinggi apabila pemilu menghendaki rakyat mencoblos partai alih-alih para Caleg. Pasalnya, sejak awal daya tarik PDIP memang lebih kepada partai itu sendiri ketimbang tokoh-tokoh calegnya.
Menurutnya, PKS menjadi satu-satunya parpol serupa yang juga memiliki karakteristik seperti PDIP. Hanya saja, saat ini suara PKS berpotensi terbelah akibat kehadiran Partai Gelora.
Sementara itu untuk parpol selain PDIP dan PKS, menurut Dedi masih konsisten mengandalkan sosok tokoh seperti artis, pemuka agama, hingga tokoh masyarakat setempat untuk mendulang suara di tingkat legislatif.
Oleh sebab itu ia menilai, kekhawatiran berkurangnya perolehan suara jika pemilu dilakukan dengan proporsional tertutup menjadi alasan parpol lainnya sepakat menolak wacana tersebut.
“Sementara partai lain, tokoh masih menjadi kunci, sehingga akan cukup minim perolehan suara jika hanya andalkan pemilih partai,” jelasnya.
“Itulah sebabnya PDIP sedikit memiliki kepercayaan diri untuk tidak memilih opsi proporsional terbuka,” sambungnya.
Kuatnya PDIP menarik massa menurut Dedi masih tak lepas dari peran Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.
Megawati dipandang sebagai PDIP itu sendiri. Bahkan, ia meyakini masih banyak loyalis ataupun masyarakat yang menggantungkan kepercayaan kepada Megawati ketimbang PDIP itu sendiri.
“PKS dianggap paling serupa dari sisi loyalitas pemilih pada partai, tetapi ini tidak disandarkan atas faktor tokoh,” tuturnya.
“Gerindra bisa saja memiliki hal serupa dengan Megawati, tetapi faktor Prabowo bersyarat. Akan tinggi pemilih partai jika Prabowo ikut kontestasi Pilpres, sementara Megawati tidak harus,” imbuhnya.(net)