Bismillahirrahmanirrahim
Tujuan hidup sejati bukanlah kemenangan duniawi melainkan pencerahan jiwa, sebuah perjalanan menuju kebenaran yang melampaui batas- batas keinginan fisik.
Safariyansayh, Budayawan Spiritualis
Mencari yang Hilang Memelihara yang Terlupakan
Melanjutkan nukilan bahasan kajian Ngaji Dialog di Beranda Lestari kediaman DR Mada Teruna tokoh yang dikenal sebagai sosok birokrat spiritual, tulisan dibawah ini merupakan lanjutan dari dua tulisan terdahulu yang mengingatkan kita bahwa prestasi duniawi hanyalah ilusi dan harus ditinggalkan pada saatnya.
Seberapa banyak pun kekayaan yang digunakan untuk memanjakan tubuh yang fana tidak akan pernah mampu mengisi kehampaan di dalam jiwa yang kekal. Jiwa itu dengan semua kerinduannya mencari sesuatu yang jauh lebih agung dari pada apa yang bisa ditawarkan dunia. Oleh karenanya manusia yang sejati akan mendengarkan panggilan halus dari dalam, meninggalkan permainan düniawi dengan segala tipuannya dan mengarahkan langkahnya menuju kedamaian yang hanya bisa ditemukan dalam pencerahan sejati.
Mengambil jalan menuju pencerahan bukanlah perjalanan biasa. Ini adalah panggilan untuk mencari makna di balik sesuatu yang tampak. Jalan Ini menuntut kita untuk mencari jawaban, untuk tidak menerima segala sesuatu begitu saja, tetapi untuk menggali lebih dalam dan memahami.
Dalam pencarian kebenaran ini kita harus memanfaatkan setiap perangkat lunak (esensi diri) yang telah disediakan dalam diri kita yaknı; akal, nalar dan hati untuk kita bertanya, kita meragukan, kita menelaah setiap termuan hingga kita mencapai Inti dari kebenaran
Hanya melalui penyelidikan yang sungguh-sungguh, kita dapat memahami apo hakikat dari kehidupan dan menemukan apa yang benar. Pencarian ini memerlukan lebih dan sekedar beringinan dangkal, kita memerlukan tuntunan seorang guru. Seorang penunjuk Jalan yang tepat, seorang yang telah melewati, lorong-lorong kebijaksanaan dan memegang lentera kebenaran sejati.
Tanpa tuntunan, kita akan tersesat dalam labırın kebingungan sebagaimana orang yang baru pertama kali memasuki hutan yang gelap, kita tidak bisa hanya mengandalkan peta untuk menjelajahinya. Dibutuhkan pemandu, yakni seseorang yang telah menguasai medan, dan memiliki pengetahuan luas tentang hutan tersebut.
Nah, jika tidak ada pemandu tentunya kita akan berakhir di dasar jurang, lalu diterkam oleh binatang buas atau memakan tanaman beracun. Karena seorang quru akan membimbing dan mengajarkan tentang cara memisahkan diri dari Ilusi dan membawa kepada kehendak untuk sampai pada Sang Illahi. Namun keinginan untuk sampai pada sang Ilahi ini menuntut keberanian untuk menempuh jalan yang jarang dilalui, jalan yang terkadang sunyi dan menuntut pengorbanan.
Dalam perjalanan menuju pencerahan, jalan seringkali tak seindah yang dibayangkan. Ego dan ilusi batın bisa membutakan mata hati. Merasa sudah dekat dengan cahaya padahal ia masih terperangkap dalam bayang bayang dirinya sendiri.
Para tokoh spiritual seperti, Jalaluddin Rumi, Ibnu Arabi, Abu Yazıd Al Bustami, Hasan Al-bashri, Syaikh Abdul Qadir al Jailanı, Imam Al-Juraidi Albaghdadi, Abdul Wahab As-sya’ranı, Hasan Asy-Syadzali dan Abu Hamid Al-Ghazali sepakat bahwa seorang pejalan spiritual memerlukan seorang guru (pemandu).
Seorang Guru bukan hanya untuk menunjukkan jalan, tetapi juga menerangi batinnya agar mampu membedakan antara cahaya hakiki dan fatamorgana. Ibnu Atha’illah As-Sakandarı bahkan mengingatkan (dalam Alhikam): Jangan berjalan sendirian di jalan ruhani, karena hawa nafsu mu lebih berbahaya daripada musuh yang terlihat.
“Seorang pemandu lebih penting daripada jalan itu sendiri, karena meski pun jalan itu lurus, gelapnya hawa nafsu bisa membutakan pandangan. Seorang musafir (pejalan spiritual) tak akan mampu melihat arah kecuali dengan cahaya penuntunnya”.
Jalan di sini melambangkan perjalanan spiritual atau proses transformasi batın. Kegelapan hawa nafsu melambangkan ilusi ego, atau kebodohan batin yang menutupi kebenaran. Pemandu adalah sosok puru, Mursyid atau bahkan kebijaksanaan llahı yang membantu seseorang melihat realitas sejati. (Meskipun seseorang merasa sudah berada di jalan yang benar, tanpa bimbingan atau kesadaran, dia tetap bisa tersesat dalam jebakan llusi batın).
Jalan pencerahan adalah jalur yang menantang. Tetapi di sanalah kebebasan (keluasan batın) sejati dapat ditemukan.
Kita dihadapkan pada ujian, dipaksa melepaskan (mengikis ketergantungan batın) pada dunia, dan hanya mereka yang memiliki keinginan murni untuk sampai pada ke-llahian yang dapat mencapai akhir dari perjalanan suci ini.
Dalam pencerahan kita bukan hanya terbebas dan kesusahan di dunia ini, tetapi juga darı belenggu penderitaan dalam kehidupan berikutnya. Jalan Ini membawa kita lebih dekat pada kebahagiaan abadi yang mengalir dari keterhubungan sejati dengan Tuhan (llahi).
Melalu disiplin dan kerendahan hati, kita akan dibimbing menuju cahaya. Dan dalam cahaya Itulah kita menemukan keselamatan sejati yang mengangkat kita dari kegelapan dan penderitaan ke dalam Cahaya Cinta Ilahi Yang Abadi.
AFWAN
WASALAM