spot_img

Gempa Gunung Kidul Berasal dari Zona Megathrust?

Linkalimantan.com – Gempa berkekuatan M5,8 (sebelumnya terdeteksi M5,5) yang mengguncang Gunung Kidul pada Senin (26/8) kemarin pada pukul 19:57:42 WIB, menurut laporan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terkait dengan kontak antar-lempeng alias megathrust.

Berpusat di laut berjarak 95 km barat daya Gunung Kidul dengan kedalaman 30km, dampak gempa terasa di beberapa 22 wilayah Yogyakarta dan sekitarnya, termasuk Karangkates, Nganjuk, Malang, Sleman, dan Bantul.

Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono, mengatakan Gempa  Gunung Kidul merupakan jenis gempa dangkal yang terkait dengan kontak antar-lempeng alias megathrust.

“Dengan memperhatikan lokasi episenter dan kedalamannya, gempa selatan Gn. Kidul M5,5 merupakan jenis gempa dangkal akibat deformasi batuan di bidang kontak antar lempeng (megathrust),” kata Daryono, dalam unggahannya di X, dikutip Selasa (27/8/2024).

Lebih lanjut, Daryono menjelaskan lokasi hiposenter gempa Gunungkidul terjadi pada penampang melintang zona subduksi di selatan Yogyakarta.

Hingga pukul 07.00 WIB pada hari ini, Daryono mengatakan sudah terjadi 77 aktivitas gempa susulan (aftershock) dengan kekuatan terbesar M4,0 dan terkecil M2,3.

Kendati gempa tersebut berada di zona megathrust, hasil pemodelan BMKG menyatakan gempa di Gunungkidul tidak berpotensi tsunami.

Sebelumnya, Daryono memperingatkan gempa dari dua zona megathrust, yakni Megathrust Selat Sunda dan Megathrust Mentawai-Siberut, tinggal tunggu waktu.

Alasannya, dua zona itu sudah lama tak mengalami gempa atau ada seismic gap, yakni lebih dari dua abad. Biasanya, gempa besar punya siklusnya sendiri dalam rentang hingga ratusan tahun.

Baca juga  Giliran Mali Mali Karang Intan Dilahap Karhutla

Kepala BMKG Dwikorita mengatakan pihaknya sudah melakukan berbagai langkah antisipasi megathrust. Pertama, menempatkan sensor-sensor sistem peringatan dini tsunami InaTEWS menghadap ke zona-zona megathrust.

“InaTEWS itu sengaja dipasang untuk menghadap ke arah megathrust. Aslinya tuh di BMKG hadir untuk menghadapi, memitigasi megathrust,” jelasnya.

Kedua, edukasi masyarakat lokal dan internasional. Salah satu bentuk nyatanya adalah mendampingi pemerintah daerah (pemda) buat menyiapkan berbagai infrastruktur mitigasi, seperti jalur evakuasi, sistem peringatan dini, hingga shelter tsunami.

Selain itu, bergabung dengan Indian Ocean Tsunami Information Center, yang juga berkantor di kompleks BMKG. Komunitas ini bertujuan buat mengedukasi 25 negara di Samudra Hindia dalam menghadapi gempa dan tsunami.

“Kami edukasi publik bagaimana menyiapkan masyarakat dan pemda sebelum terjadi gempa dengan kekuatan tinggi yang menyebabkan tsunami,” kata dia.

Ketiga, mengecek secara berkala sistem peringatan dini yang sudah dihibahkan ke pemda.

“Sirine [peringatan tsunami] harusnya tanggung jawab pemerintah daerah, hibah dari BNPB, hibah dari BMKG, tapi pemeliharaan dari pemerintah daerah, kan otonomi daerah. Ternyata sirine selalu kita tes tanggal 26 [tiap bulan], kebanyakan bunyi tapi yang macet ada,” bongkarnya.

Keempat, menyebarluaskan peringatan dini bencana. Menurut Dwi, jika masyarakat harus siap, berarti harus ada penyebarluasan informasi. (spy)

BERITA LAINNYA

spot_img
spot_img

BERITA TERBARU