17.1 C
New York
Sabtu, Oktober 5, 2024

Buy now

spot_img

Jagalah Diri Mu, Pilkada Moment Ujian Iman

Bismillahirrahmanirrahim
“Jagalah diri mu! Orang yang sesat itu tidak akan memberimu mudarat apabila kamu telah mendapat petunjuk”

Safariyansyah, Budayawan Spiritual
Mencari yang Hilang Memelihara yang Terlupakan

Ngaji Dialog di Beranda Lestari tepatnya kediaman seorang Birokrat Spiritualis DR Mada Taruna, menjadikan waktu seakan begitu singkat. Kajian-kajian kehidupan berdasarkan Islam begitu indah, sekali pun kajian politik yang kini dipenuhi dengan intrik duniawi.

“Alaikum Anfusakum” QS Al Maidah 105  Jagalah diri mu! Kalimat inilah yang menjadi fokus dalam bahasan Ngaji Dialog di Beranda Lestari dalam kontek menghadapi pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 ini.

Pilkada jelas merupakan moment teramat penting dalam keberlangsungan pemerintahan di negeri ini. tentu pada akhirnya semua akan baik-baik saja seperti halnya yang sudah-sudah. Namun terkadang tidak baik-baik saja di saat prosesnya. Terutama ketika intrik-intrik duniawi begitu mendominasi. Di saat ini pula jebakan terhadap keimanan seseorang akan teruji.

Menurut DR Mada Taruna, ajang Pilkada bukan hanya soal manivestasi iman saja, jauh lebih krusial karena momen ini menjadi ujian keimanan kita. Segaimana yang tersurat dalam Surat Al Maidah 105, Alaikum Anfusakum (jagalah diri mu).

Kalimat menjaga diri memang sangat mudah diucap, praktiknya? Jelas tidak sesederhana ucapan itu sendiri. Tekanan-tekanan dari luar begitu kuat. Tanpa pondasi yang kokoh, tak sedikit orang terseret dengan keadaan sekitar (sosial masyarakat berdasarkan kebiasaan).

Sebagai analog, ada sekelompok orang yang terdiri dari para ahli. Professor, ahli agama (kyiai) ditambah ahli-ahli mumpuni lainnya berkeinginan membangun negeri untuk menjadi lebih baik. Jelas tujuan mulia sebagaimana yang diajarkan dalam Islam.

Baca juga  Pemilu Panggung Kontribusi Politikus Untuk Negeri

Namun dalam perjalanannya, masyarakat di negeri itu bukannya mendukung tetapi malah bersikap apatis terhadap misi kelompok mumpuni ini. Cuek dan cenderung tidak mendukung. Hingga menyulut emosi.

Nah dalam kondisi seperti inilah sikap para pakar itu diuji. Bertahan dengan keinginan membangun negeri yang lebih baik atau mengikuti keinginan masyarakatnya yang notabene bukan ahlinya (bodoh)?

Menjadi hal bodoh jika para ahli itu mengikuti keinginan kelompok yang tidak memiliki kafasitas dalam hal yang dibutuhkan. Kalau ini yang terjadi sama saja para ahli itu telah didekte orang bodoh dan tentu saja tidak akan membuat baik dan tidak ada solusi.

Sebaliknya pilihan terbaik adalah tetap menjalankan apa yang telah terprogram demi masa depan negeri yang lebih baik. Untuk itu dibutuhkan ketetapan sikap sebagaimana yang diajarkan dalam Islam. Hanya didekte oleh Allah SWT dan Rasulullah.

Di penghujung tulisan dari nukilan Ngaji Dialog di Beranda Lestari ini mari kita renungkan peristiwa Nabi Syu’aib menolak didekte oleh kaumnya  yang terekam dalam QS Hud ayat 88.

Dia (Syuʻaib) berkata, “Wahai kaumku, jelaskan pendapatmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan Dia menganugerahiku rezeki yang baik (pantaskah aku menyalahi perintah-Nya). Aku (sebenarnya) tidak ingin berbeda sikap denganmu (lalu melakukan) apa yang aku sendiri larang. Aku hanya bermaksud (mendatangkan) perbaikan sesuai dengan kesanggupanku. Tidak ada kemampuan bagiku (untuk mendatangkan perbaikan) melainkan dengan (pertolongan) Allah. Kepada-Nya aku bertawakal dan kepada-Nya (pula) aku kembali.

AFWAM
WASSALAM

BERITA LAINNYA

Stay Connected

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

BERITA TERBARU