Linkalimantan.com-Beberapa bulan terakhir, pejabat negara dan keluarganya mendapatkan sorotan masyarakat. Hal ini melihat aktivitas mereka di media sosial yang menunjukkan hedonisme yang mengindikasikan adanya harta tidak wajar yang dimiliki pejabat tersebut.
Analis Transaksi Keuangan Bidang Hukum pada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Muhammad Abdal Yanwar mengatakan, dalam istilah hukum, fenomena ini disebut sebagai illict enrichment atau kekayaan yang diperoleh secara tak wajar.
“Karena seluruh kekayaan yang diperoleh pejabat negara harus berkaitan dengan kerja-kerja dia sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN),” kata Yanwar saat menjadi narasumber Serial Diskusi yang digelar Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia di Sekretariat PB PMII, Salemba Tengah, Jakarta Pusat, Jumat (31/3/2023) dilansir dari nu.or.id.
Dalam praktiknya, kata dia, belum sepenuhnya semua pejabat yang diduga memiliki harta tidak wajar dapat dipidanakan, sebab Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) di Indonesia belum mengkategorikan kekayaan tidak wajar sebagai sebuah kejahatan.
Menurut dia, PPATK telah memberikan dua rekomendasi terkait harta tidak wajar bagi pejabat negara. Salah satu rekomendasi PPATK yaitu mendorong agar UU Tipikor mengintroduksi beberapa kejahatan yang masuk kategori kejahatan tipikor dalam perspektif global seperti harta tidak wajar pejabat negara, agar dimasukkan sebagai kategori kejahatan tipikor.
Rekomendasi kedua yaitu memasukkan masalah harta tidak wajar pada RUU Perampasan Aset yang saat ini masih dibahas di DPR. Yanwar menjelaskan, di dalam naskah RUU tersebut per November 2022, ada satu objek aset yang bisa dilakukan perampasan. Tetapi, aset ini tidak murni dikategorikan sebagai perbuatan pidana.
“Di Pasal 5 Ayat (2) huruf a di RUU tersebut dinyatakan bahwa salah satu objek yang bisa dijadikan sebagai objek perampasan aset yaitu peningkatan harta kekayaan dari setiap orang,” papar Yanwar.
Artinya, di dalam RUU Perampasan Aset yang akan disahkan DPR ini, bagi siapapun yang hartanya meningkat tetapi tidak bisa dijelaskan dan dipertanggungjawabkan asal-usul serta keabsahannya dapat dianggap sebagai objek dalam perampasan aset. Meskipun mekanisme dari RUU ini masih mengalami perdebatan alot.
“Mekanismenya ini menjadi perdebatan karena di satu sisi trigger awalnya adalah triger pidana. Tetapi karena pendekatannya pendekatan inrem yang identik dengan perdata maka akhirnya diintroduksi bahwa ketika penyidik memberikan berkas perkara, maka dia akan paralel kepada jaksa penuntut umum dan pengacara negara yang nantinya persidangan juga paralel,” bebernya.
Sementara menurut Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, pihaknya hanya menindak transaksi keuangan yang memiliki perbuatan melawan hukum. Sementara PPATK kewenangannya tidak sama dengan KPK. PPATK hanya pada aspek melihat dan menganalisis transaksi keuangan pejabat negara.
“Akhirnya supaya mudah, maka kemudian diangket itu bahwa penyelenggara negara atau public official kalau uangnya tiba-tiba bertambah, tak sesuai dengan profilnya, maka PPATK mendorong agar penggunaan mekanisme pemidanaan yang bersifat inpersonam digeser kepada inrem,” tutur Ghufron.
Ia menjelaskan, inpersonam adalah mekanisme pemidanaan yang melihat orang ke orangnya langsung, apa yang dia lakukan dan apa hasilnya. Sementara inrem tidak melihat itu. Akan tetapi menitikberatkan pada posisinya apa dan uangnya berapa. “Sebab posisi itu menunjukan income yang resmi. Bagi seorang pejabat boleh saja memiliki harta tidak resmi, asalkan legal,” tandasnya. (link/net).