Bismillahhirahmannirahim
“Masuk Surga Itu Gampang Masuk Neraka Yang Susah”. Kalimat sederhana nan singkat dan sangat jelas ini membuat beberapa teman terhenyak. Namun setelah diurai mereka pun sangat gembira dan begitu optimis menjalani kehidupan.
SAPARIYANSYAH, BUDAYAWAN SPIRITUAL
Mencari yang Hilang, Memelihara yang Terlupakan
Kalimat “Masuk Surga Itu Gampang dan Masuk Neraka Yang Sulit” begitu nyaman terdengar. Tetapi memang sesungguhan ungkapan kalimat itu benar adanya.
Gampangannya begini, lihat saja realitas kehidupan di masyarakat. Jalan kebaikan yang bisa mengantarkan ke surga itu dilakukan bisa diam-diam maupun terang-terang-terangan. Shalat, menolong orang, bersedekah dan banyak lagi kegiatan positif lainnya dilakukan dengan tanpa rasa was was. Apalagi rasa takut ditangkap aparat hukum. Sudah begitu banyak pula yang tidak perlu biaya (gratis).
Dengan uraian sederhana ini jelaskan, jalan untuk masuk surga itu gampang. Artinya tidak ada hukum dunia yang menjadi penghalang. Sebaliknya urusan aktivitas yang membawa ke jalan neraka itu terealitanya sulit dilakukan. Tetapi aneh masih banyak yang tidak mau.
Seorang maling, koruptor, pengedar narkoba, perdagangan manusia dan aktivitas jahat (tidak halal) itu dilakukan dengan cara yang sulit. Maling, koruptor dan aktivital illegal harus dilakukan dengan sangat sulit. Mengindap-indap, menipu, menyogok dan lain-lain. Intinya semua yang dilakukan jangan sampai ada yang tahu (manusia).
Karena begitu ketahuan pasti geger. Apes, tertangkap, dihakimi massa (baik fisik maupun hukum sosial). Sudah badan sekarat masih harus menghadapi hukuman negara. Susahkan! Sementara kegiatan-kegiatan itu jelas bukan ajaran Agama Islam.
Tetapi anehnya, sudah tahu sulit tapi banyak yang mengerjakannya. Bahkan jalannya ikut-ikutan canggih mengikuti perkembangan zaman.
Perbudakan misalnya. Zaman dulu transaksi perbudakan dilakukian secara terbuka. Ada tawar menawar secara terbuka, hingga transaksi jual beli tuntas. Ini pun tidak termasuk dalam ajaran Islam.
Karena itulah dalam perjalanannya, Rasulullah mengajarkan pengikutnya untuk memerdekakan para budak maupun hamba sahaya.
Bagaimana dengan zaman sekarang. Sesuai keadaan zaman praktik perbudakan manusia juga lebih canggih hingga masuk ke ranah politik. Sadar tidak sadar, praktik perbudakan itu ada. Sebagaimana yang terjadi setiap perhelatan dalam sebuah pemilihan. Politik uang misalnya.
Sebut saja Si A. Dia itu bisa meraih kekuasaan dengan jalan membeli. Apa yang dibeli? Tentu saja suara pemilih yang diberi hak untuk memberikan pilihan.
Kalau kita mau jujur bukankah membeli suara itu sama dengan membeli orangnya. Dengan bermodalkan suara-suara itu pula Si A tadi bisa berhasil untuk mendapatkan tujuannya. Kalau sudah begitu bukankah Si A tadi menikmati hasil dari aktivitas yang diawali dengan membeli suara tadi?
Pendeknya praktik ini bukankah sama dengan perbudakan. Lebih cocok perbudakan modern. Terasa tapi tidak terlihat dan sulit untuk dibuktikan dengan hukum negara.
Lebih tak elok lagi, ketika sudah berhasil mendapatkan tujuannya, para pemilik suara tadi sebagian besar ditinggalkan begitu saja. Dengan alasan apa lagi, kalau bukan kalimat “Saya memperoleh jabatan kekeuasaan dengan cara membeli”. Ngeri kan.
Lebih mengerikan lagi karena praktik-praktik semacam ini juga terjadi di Negeri Serambi Makkah. Negeri yang sejak ratusan tahun lalu dikenal sebagai negeri yang syarat dengan ajaran Islam sebagaimana yang sudah patronkan para pendiri negeri (Ulama dan Guru).
Alhamdulillah, kita semua masih diberikan kesempatan untuk menemui moment untuk membuktikannya. Ya, saat inilah moment itu, Pemilu 2024. Silahkan pilih sendiri, pemerintah sudah memfasilitasnya. Mau jalan surga atau jalan neraka.
Afwan
Wasalam