Link, Jakarta – Krisis keuangan bukan hanya dihadapi dan negara-negara di dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun turut merasakan. Kini organisasi terbesar dunia itu pun teramcam harus memangkas anggaran dan pemberhentian ribuan pegawainya (restrukturisasi besar-besaran).
Dikutif dari Reuters, Jumat (30/5/2025), disebutkan Sekretariat PBB tengah bersiap memangkas anggaran sebesar 20 persen dari total anggaran $3,7 miliar (Rp60,2 triliun). Pemangkasan ini juga mencakup rencana pemberhentian sekitar 6.900 pegawai.
Langkah drastis ini terungkap melalui memo internal. Dalam memo tersebut, staf diminta menyerahkan rincian pemotongan paling lambat 13 Juni mendatang.
Pemangkasan ini terjadi di tengah krisis keuangan serius yang sedang dihadapi PBB. Krisis tersebut sebagian besar disebabkan oleh kegagalan Amerika Serikat dalam memenuhi kewajiban pendanaannya.
AS selama ini menyumbang hampir seperempat dari anggaran tahunan PBB. Namun kini, AS tercatat menunggak hampir $1,5 miliar (Rp24,4 triliun), termasuk tunggakan masa lalu dan kontribusi untuk tahun fiskal berjalan.
Memo yang ditulis oleh Pengawas Keuangan PBB, Chandramouli Ramanathan, tidak secara langsung menyebut kegagalan AS. Ia menjelaskan bahwa pemangkasan ini merupakan bagian dari tinjauan internal bertajuk “UN80” yang diluncurkan pada Maret lalu.
Ramanathan menyebut UN80 sebagai upaya ambisius untuk memodernisasi PBB agar mampu menjawab tantangan multilateralisme abad ke-21. Pemangkasan ini dijadwalkan mulai berlaku pada 1 Januari, bersamaan dengan dimulainya siklus anggaran baru.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pun menyampaikan bahwa ia tengah mempertimbangkan restrukturisasi besar-besaran. Rencana restrukturisasi mencakup penggabungan sejumlah departemen dan pemindahan sumber daya ke wilayah yang lebih membutuhkan.
Selain itu, juga akan dilakukan konsolidasi badan-badan PBB, pengurangan tumpang tindih, serta pemangkasan birokrasi yang dianggap tidak efisien. Pemindahan staf ke kota-kota yang lebih murah juga menjadi salah satu opsi.
Guterres mengakui bahwa langkah ini merupakan respons terhadap situasi yang penuh tantangan. Namun, menurutnya, krisis ini juga membawa peluang untuk perbaikan menyeluruh.
Ia menekankan bahwa keputusan sulit tidak bisa dihindari, dan tidak boleh terus ditunda. Masalah keuangan PBB semakin diperparah oleh keterlambatan pembayaran dari Tiongkok, negara penyumbang kedua terbesar setelah AS.
Kedua negara tersebut bersama-sama menyumbang lebih dari 40 persen dari seluruh pendanaan PBB. Di sisi lain, pemerintahan Trump juga telah menarik ratusan juta dolar dana diskresioner, memaksa penghentian mendadak puluhan program kemanusiaan.(spy)