Bismillahirrahmanirrahim
Dunia bukan rumah kita, ini adalah tempat tinggal sementara yang akan segera kita tinggalkan. Tak ada yang menjadi milik kita di sini, kita hanya penjaga yang diberi kepercayaan untuk menjaga. Kita datang tanpa membawa apa pun, dan apa pun yang kita kumpulkan di sini harus kita tinggalkan.
Safariyansyah, Budayawan Spiritualis
Mencari yang Hilang Memelihara yang Terlupakan
Hari demi hari Ngaji Dialog di Beranda Lestari di kediaman yang juga sekaligus seorang birokrat spiritualis DR Mada Teruna kian mengasikan dan menyejukkan. Beruntunglah saya mendapat izin untuk menyampaikan nukilan bahasan ke pembaca yang kali ini materinya mengingatkan kita semua bahwa Dunia Bukan Rumah Kita.
Memang sejatinya dunia bukan rumah kita, namun tidak berarti bahwa untuk sementara waktu kita harus bertahan hidup tanpa apa-pun (atau) tidak dapat menikmati makanan enak atau hubungan yang penuh kasih dan rumah yang nyaman.
Siapa pun bisa saja memiliki kekayaan yang melimpah dan tempat tinggal yang nyaman, tetapi mereka tidak boleh lupa bahwa semua itu bukan milik mereka, semuanya harus digunakan untuk melayani pemilik sebenarnya yaitu sang Penguasa Alati (Robbul alamin)
Kita tidak bisa mendapatkan kebahagiaan sejati di dunia ini, akan selalu ada penderitaan, cobaan, ujian dan kesusahan yang mengirinya.
Memang begitulah sifat daripada dunia ini. Dimana kita menghadapi berbagai macam tantangan dan cobaan untuk mengetahui siapa di antara kita yang benar-benar memiliki jiwa yang murni.
Jangan sampai terkecoh oleh kenikmatan dunia yang menipu, karena ini hanyalah tempat singgah sementara (transit) yang penuh ilusi dan tipuan yang akan menjerat kita ketika hilang kewaspadaan.
Jangan biarkan diri kita terjebak di sini sehingga melupakan dari mana kita berasal, dan akan ke mana kita kembali.
Penolakan terhadap keterikatan duniawi bukanlah sikap eskapisme, melainkan kesadaran mendalam bahwa kebahagiaan sejati tidak pernah berakar pada sesuatu yang fana. Sebab dibalik ilusi kesementaraan ini, ada keabadian yang memanggil. Yakni sebuah cahaya hakiki yang hanya dapat ditemukan oleh mereka yang berani melepaskan, berani mencari, dan berani berjalan menuju sumber segala makna.
Seperti beberapa tulisan yang lalu, pekan ini pun DR Mada Teruna menutup kajian dengan membacakan puisi.
DI BALIK TIRAI YANG FANA
Kita bukan tanah yang mengendap
Bukan pula kilau embun yang gemetar di ujung daun
Berpendar sejenak, lalu luruh tanpa jejak
Kita adalah desir halus yang melintas batas-batas senyαρ
Menggugurkan malam dari kelopaknya
Menelanjangi cahaya palsu hingga tersisa sunyi yang bersenandung dalam diam
Ada Jalan yang tak beraspal kata
Di mana waktu terkulai dan jarak kehilangan makna
Di sana, gemerlap hanya sebatas riak
Sementara kedalaman adalah lautan yang tak tersentuh pandangan
Sebab kebahagiaan bukanlah permata yang berkilau karena matahari
Tetapi lentera yang menyala di jantung kegelapan
Kita bukan bayang-bayang bumi yang memeluk kilau fatamorgana
Sebab dunia tak lebih dari kaca buram yang memantulkan rupa tanpa pernah menyentuh hakikat
Dan pada akhirnya…di balik tirai yang rapuh ini, ada suara hening yang memanggil
Bukan untuk menggenggam, tetapi untuk melepaskan
Hanya mereka yang berani mengendapkan sunyi di relung batınnya
Yang akan menemukan cahaya yang tak berpijak pada sesuatu yang bisa musnah
Afwan
Wassalam